Langsung ke konten utama

Catatan dari Banti To Akoro Situs Dua

Hujan di bulan Juni bukan sekadar puisi. Hujan itu hadir secara literal di langit Nganganaumala. Hari kedua perhelatan Banti to akoro. 

kampung Loji

Sejak pagi, Dua Puluh Lima (25) Peserta sudah selesai registrasi. Hujan belum jua reda, sementara walking tour harus segera dimulai. 

Para peserta Banti toakoro situs dua memulai penjelajahannya Dari kantor Kelurahan Nganganaumala. Mereka mengenakan jas hujan lalu berjalan menjajal lorong-lorong sempit di kampung Loji.

Lorong sempit Loji III menyambut kami. Ada aroma yang menguar di mulut gang. Karakter baunya seperti halaman pertama dari buku tua yang berdebu. Penampakan yang lain adalah dinding rumah-rumah panggung tua yang menyimpan ingatan pemiliknya. Di sinilah perjalanan dimulai. tepat di depan salah satu rumah warga yang pada depannya terkapar dua buah meriam peninggalan VOC.

Pemandu kami, Pak LM Yurid warga asli Loji, berdiri tenang memegang payung di hadapan para peserta. Ia memulai cerita dengan sebutir kata: Loji—markas, benteng, tempat bertahan. Sebuah warisan bahasa Belanda yang menetap di lidah orang Buton. Tapi kata itu, seiring waktu, berubah makna. Dari tempat militer menjadi pemukiman. Dari ancaman menjadi kenangan. Seperti kota yang tak sepenuhnya lupa, tetapi enggan mengingat.

Tour terus berjalan. Hujan mulai mereda. Lalu kami kembali menelusuri lorong-lorong di kampung Loji. Ada makam pejabat kesultanan di sana. Makam itu bertuliskan Makam Keluarga besar Loji.  Dari situ peserta mulai memahami bahwa kampung Loji bukan sekadar pemukiman warga, ia menyimpan fragmen sejarah penting pada masa kesultanan dahulu. Kampung itu punya peran signifikan sejak dahulu, (mungkin) hingga kini.


Lorong Loji I menyempit, dan di antara rumah-rumah yang rapat, kami menemukan meriam kedua. Ia tampak lebih terasing, lebih terlupakan. Diletakkan begitu saja di pinggir rumah warga. Pak Yurid kembali menjelaskan asal usul meriam. “April 1613 awal perjanjian Baana antara Sultan Buton La Elangi dan Pihak Belanda, jauh sebelum itu benteng loji sudah ada berarti meriamnya sudah ada pula”.

Walking Tour berhenti di depan Masjid Loji. Peserta menuruni kabumbuna loji (jalan penurunan menuju jembatan gantung) menuju bus yang sudah menunggu di Kotamara.

 

Kota Mara

Kota Mara menyambut peserta dengan sunyi beton. Dulu laut, kini taman, panggung, dan gedung. Reklamasi, katanya. Pembangunan, katanya. Tapi bagi nelayan, ini adalah peminggiran.  Kehidupan mereka berubah. Sebab hasil tangkapan nelayan tak sebaik dulu sebelum adanya reklamasi.

Saya membagikan sticky notes kepada peserta sebelum mereka menaiki bus agar mereka bisa menulis kesan yang dialami selama mengikuti walking tour di kampung Loji.

Di dalam bus peserta mendengar audio pembuka tentang nanas. Bus bergerak perlahan menuju pasar wameo. Suasana cukup hening di dalam bus. Mungkin peserta lelah atau fokus mendengar audio. Ada yang mulai mencatat ada yang mulai tampak kebingungan di wajahnya. Kepingan peristiwa di Loji, barangkali mulai mengisi ingatannya.

Pasar Wameo

Pasar Wameo sedang sunyi dan selalu sunyi di jam itu. Mendung masih menggelayut. Satu fragmen pasar menangkap wajah para pedagang yang lesu. Sebab pasar sedang berada di jam kritis; warga sudah berbelanja di pagi hari untuk kebutuhan siang dan belum cukup sore buat berbelanja untuk kebutuhan malam. Bus tiba pukul 14.30, peserta turun menuju penjual nanas. Di sana penjual nanas gesit melayani peserta. Ada tukar cerita di situ. Berapa harga nanas sekarang? Dari mana nanas diambil? Apakah keuntungannya cukup memuaskan? Atau hanya sekadar menyambung hidup? 

Ide pertunjukan ini berawal dari banyaknya patung dan ornamen nanas di Bau-Bau. Nanas dianggap sebagai simbol kebesaran kesultanan. Namun, sebagai buah yang bukan endemik Kepulauan Indonesia (terlebih Buton), nanas dapat dibaca sebagai simbol dinamisme masyarakat Buton.

Nanas adalah sebuah simbol yang berjarak. Ia sekedar patung semen atau ornamen kayu penghias alih-alih bisa dimakan manis rasanya. Untuk itu, bentuk pertunjukan ini mengajak masyarakat kembali mengenali nanas “yang konkret/yang bisa dirasakan”. Memakan nanas sembari merenungi mengapa nanas layak merepresentasikan Buton dengan nilai keharmonisannya. Tentu, nanas adalah nama lain kabanti, dan kabanti adalah nama lain nanas.

Seorang lelaki duduk bersila. Ia bukan penjual. Ia Pekabanti, penjaga lisan. Di tangannya gambus tua, senarnya dari tali pancing. Ia memetik lagu-lagu yang tak sempat dicatat sejarah. Lagu-lagu tentang cinta, keluh kesah kehidupan sehari-hari, atau tentang suara-suara rakyat kecil yang hanya bisa didendangkan tanpa pernah sampai ke telinga penguasa. Bersama seorang perempuan ia berbalas pantun. Maka jadilah, mereka berkabanti saling menimpali satu sama lain dalam irama yang merdu.

Aktor berpakaian Kapitalao berjalan mendekat. Ia bicara tentang harga diri dan identitas yang terpatri dalam martabat tujuh. Ia membaca naskah martabat tujuh itu berulang-ulang dengan pelantang suara. Tapi suaranya tenggelam dalam  irama kabanti. Tak ada yang benar-benar peduli. Kapitalao sedang menyampaikan pesan penting dalam kalimat yang penuh makna. Namun peserta lebih merasakan makna itu saat memakan nanas dan mendengar kabanti. Pesannya lebih mudah masuk sebab ia tak berjarak dan menubuh.

Saya ikut makan nanas. Nanas berpindah dari tangan ke tangan. Lengket. Mulut kami kecut. Tapi di antara gigitan, kami saling tatap. Kami tertawa. Barangkali di sanalah rekonsiliasi muncul—tidak dari pidato, tapi dari tubuh.

 

Tarafu – Bone Bone

Bus melaju pelan menuju Tarafu. Di jendela, rumah-rumah bata melintas, tak seragam, tak mewah. Monolog tentang konflik turun temurun mulai diputar di dalam bus. Ini tawuran bukan perang besar. Hanya kesalahpahaman kecil yang tak pernah dimaafkan. Wilayah ini kerap berkonflik.

Tarafu dan Bone Bone adalah satu kesatuan secara genealogi kesukuan. Namun, akibat politik segregasi tinggalan kolonial, Tarafu-Bone Bone dipisahkan oleh tabir tak kasat mata yang sifatnya sangat politis. Tabir tak kasat mata ini mengaburkan satu kesatuan diantara keduanya. Tabir ini juga yang menjadi awal mula konflik saudara terjadi. Tidak ada kisah tunggal untuk menjelaskan mengapa konflik ini terjadi. Versi kisah yang paling otoritatif menjelaskan bahwa konflik Tarafu-Bone Bone lahir dari kesalahpahaman, gengsi, gesekan inter-generasi, hingga salah sasaran

Di titik perbatasan, kami turun menuju pelabuhan rakyat tempat masyarakat wameo-bonebone-tarafu kerap bertemu. Peserta diarahkan untuk mengamati sekitar. Melihat dengan seksama: sambil berpikir lebih dalam tentang akar konflik.

 

Lipu – Katobengke:  

Kami naik kembali ke bus. Udara di dalam mulai panas. Lagu daerah Lipu diputar dalam bus menuju tempat pengrajin gerabah. Lagu itu terdengar asing. Tak ada satupun kalimatnya yang saya pahami. Saya menduga seluruh peserta tak ada yang paham makna lagu ini.

Di Lipu, di depan kantor camat betoambari kami turun. Kami menuju  ke rumah pembuat gerabah. Rumah itu rumah panggung. Di kolong rumah adalah “workshop” gerabah.  Di sana, tangan-tangan perempuan mencetak tanah liat. Lembut, sabar.  

Kami diam sejenak. Bau tanah basah masuk ke hidung. Ini bukan pertunjukan. Ini adalah fragmen hidup. Satu-satunya pengrajin gerabah di Lipu yang masih bertahan; 50 tahun lamanya.

Saat peserta mulai bertanya, si ibu pembuat gerabah menjawab dengan bahasa Lipu, peserta kebingungan. Sampai ada salah satu peserta yang berasal dari Buton Tengah tiba-tiba jadi penerjemah. Suasana yang awalnya tampak kikuk kini mulai cair. Peserta dan ibu pengrajin gerabah mulai saling memahami.

Saya melihat wajah salah satu peserta yang tampak shock saat mendengar cerita dari ibu pengrajin gerabah. Sebelum naik bus ia menyerahkan sticky notes bertuliskan; agak shock, kendinya dari tanah liat, masa pembuatan selama dua-tiga hari sepenuhnya menggunakan tangan, dijual hanya 10.000 rupiah, dan masih bertahan hingga kini, sudah 50 tahun lamanya.

Kali ini teater Banti To Akoro memilih satu fragmen wilayah Lipu-katobengke bukan tanpa alasan yang jelas. Dalam buku Sejarah Buton yang ditulis oleh Susanto Zuhdi dkk, Lipu-Katobengke merupakan masyarakat yang lebih dahulu datang dan menempati pulau Buton, ketimbang tiga pendatang dari Malaka dan satu orang Jawa. Sejarah besar berlanjut, kesultanan rupanya me-liyan-kan masyarakat Lipu. Hingga kini tidak sedikit gogon (gosip underground) yang mendiskreditkan masyarakat Lipu dan menganggap masyarakat Lipu sebagai keturunan lapis paling bawah. Ini berlanjut sampai ke penguasaan tanah masyarakat Lipu oleh pemerintah kota demi perluasan wilayah Bandara. Konflik lahan itu belum sepenuhnya tuntas hingga kini.

Betoambari – Topa

Bus bergerak ke utara. Bandara mendekat. Suara pesawat memotong langit. Betoambari: megah dalam nama, tapi di bawahnya, tanah warisan yang dulu adalah kebun dan rumah.

Bus melambat. Kami tiba di Topa. Tak ada panggung. Tak ada sorotan. Hanya laut. Biru. Terbuka. Seolah menunggu kami.

Kami turun. Langit rendah. Suara ombak perlahan.  

Kami menatap laut, lama sekali.

Pertunjukan ini tidak berakhir di Topa. Ia terus bergerak di kepala kami. Di tubuh kami. Di rasa nanas yang masih tinggal di lidah. Di napas yang membawa bau tanah basah dan debu jalanan.

Bus berhenti. Tapi ingatan mulai berjalan.

 

Ditulis oleh

Alyasin Ayyash

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tambur VOC untuk La Elangi; Kolonialisme yang datang melalui bunyi

Di sebuah sore yang sepi pada bulan januari tahun 1641, Seorang utusan dari Banda berkunjung di Buton. Ia membawa kabar perihal Banda, selebes dan VOC. Kabar itu mengisahkan tentang aliansi baru yang dibentuk oleh VOC seminggu yang lalu. Poros itu  dalam rangka persahabatan dan upaya ekonomi. Utusan itu lalu berkisah lagi soal pemberian hadiah dari VOC dalam banyak rupa. La Elangi tak bergeming. Ia lalu berjalan menuju jendela, Pandangannya terlempar ke arah laut. Sesuatu bernama gelisah sedang menggantung di wajahnya. Pada paruh abad ke 17, Buton adalah kerajaan maritim. Kekuasaanya bertaut dengan   jaringan dagang nusantara dan peradaban islam. Di bawah La Elangi Sultan ke empat, Buton menjalin perimbangan kuasa antarkerajaan dan kekuatan asing yang masuk ke Laut Banda. Berbeda dari pendekatan kekerasan yang diterapkan di wilayah lain, hubungan VOC dengan Buton dimulai dengan jalur diplomasi. Tidak ada perang. Kolonial datang sebagai kongsi yang menawarkan perkawanan. B...

Catatan dari Banti toakoro Situs satu

Malam itu saya memilih berdiri di antara barisan warga. Menyisip di antara ibu-ibu bersarung dan anak-anak yang duduk bersila di atas meriam. Mendung masih menggantung di langit keraton. Di Sebelah utara tampak beberapa warga telah memenuhi galampa. Keraton mulai ramai. Tapi bukan oleh hiruk-pikuk pejabat dengan kamera dan protokol. Tidak ada kursi VIP. Yang ada hanyalah warga. Dengan tubuhnya. Dengan ingatannya. Dengan matanya yang jernih menatap ke tengah panggung yang tanpa panggung. Di sinilah sejarah malam itu dibuka kembali, bukan oleh seremoni, tapi oleh tubuh-tubuh yang menyimpan luka dan nyanyian. Banti to Akoro, Sebuah pertunjukkan yang mengundang siapapun sebagai penyaksi, bukan penonton. Teater Tanpa Titik Pusat Sekali lagi, pertunjukan Banti to Akoro tidak menawarkan satu titik pusat. Penonton bergerak mengikuti arah suara, tubuh, dan Cahaya. Seolah teater ini bukan pertunjukan, melainkan ritual yang mewajibkan tubuh untuk terlibat. Banti to Akoro situs satu mengam...