Sekumpulan bocah berlari kegirangan di atas pasir. Ada yang membuat bola pasir lalu mengadunya sampai salah satu bola pecah. Sementara itu para remaja asik menggiring bola, mengoper, dan berusaha mencetak gol di gawang yang hanya ditandai dengan tumpukan pasir dan sandal. Tim yang ketinggalan skor akan membuka bajunya. Dan pertandingan baru berakhir setelah kedua tim sama-sama kelelahan.
Di
tempat lain ada sekelompok ibu-ibu dan anak gadisnya yang mencari kerang,
kepiting dan ikan untuk lauk makan malam. Di pesisir, ada nelayan yang menambal
perahunya untuk digunakan kembali keesokan harinya. Matahari mulai
kembali ke peraduannya.
Seluruh kegiatan itu akan berhenti ketika air naik atau azan magrib
berkumandang. Mana yang lebih dulu hadir, itu tak penting. Air akan pasang dan
menutupi pasir dan batuan karang. Masing-masing dari mereka akan bergegas
menuju daratan.
Para
ibu akan pulang untuk memasak ikan, kerang atau kepiting hasil buruan yang akan
disantap bersama keluarga. Anak-anak akan pulang dengan kelelahan lalu
menghambur ke masjid untuk belajar mengaji. Dan para remaja bebas melakukan apa
saja selama tak ketahuan orang tua dan polisi, tentu saja.
Seluruh
peristiwa itu masih terekam jelas di kepala saya. Ingatan ini tiba-tiba hadir
pada suatu sore saat saya menyaksikan kota mara dari tebing di kampung loji.
Dahulu kota mara sebelum reklamasi adalah titik sentral warga pesisir
berkumpul, bermain, bercengkerama, atau mencari sumber protein saat laut
dangkal.
Dahulu, saat air surut hamparan pasir dan batuan karang akan muncul ke permukaan. Hamparan pasir itu kerap kami gunakan untuk tempat bermain bola. Dalam bahasa wolio, hamparan pasir itu kami sebut dengan kabone-boneana yang secara harfiah berarti tempat yang berpasir. Dan bebatuan karang adalah tempat kami mencari gurita, kepiting, dan kerang.
Lanskap
kotamara membentang meliputi tiga
wilayah kelurahan; Nganganaumala, Kaobula, dan Wameo. Ketiga wilayah ini dahulu
adalah kampung nelayan. Warga di pesisir secara umum berprofesi sebagai
nelayan. Bahkan, pada suatu waktu di antara tahun 2006-2009 ada pula yang
bekerja sebagai petani rumput laut. Masa-masa itu adalah masa yang
membahagiakan bagi para nelayan karena harga rumput laut yang tinggi. Sekali
panen mereka bisa meraup keuntungan sampai puluhan juta rupiah.
Kini
semua tinggal ingatan.
Reklamasi
telah mengubah wajah Kotamara. Laut dangkal tempat kami dulu bermain dan nelayan
mencari rezeki kini telah berubah menjadi daratan buatan. Kabone-boneana yang
dulu menjadi arena bola pasir dan tempat berkumpulnya anak-anak sore hari, kini
tertimbun beton dan aspal. Sementara bebatuan karang, tempat para ibu dan gadis
mencari hasil laut, sudah lama menghilang di bawah timbunan tanah urug.
Alih-alih
membawa kesejahteraan bagi warga lokal, reklamasi justru memutus mata rantai
kehidupan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Nelayan tak lagi bisa
melaut seperti dulu. Laut yang dulu ramah, kini terasa asing dan tak lagi
produktif. Ikan-ikan menjauh di seberang pulau.
Banyak nelayan akhirnya beralih profesi.
Ada yang menjadi buruh bangunan, ada pula yang membuka warung kecil-kecilan,
mencoba bertahan hidup di tengah kota yang terus tumbuh tetapi tidak lagi
menumbuhkan harapan. Sebagian lainnya tetap bertahan sebagai nelayan, meskipun
mereka sadar hasil tangkapan semakin sedikit. Mereka harus melaut lebih jauh,
menghabiskan lebih banyak bahan bakar, namun pulang dengan jaring yang nyaris
kosong.
Ini persis seperti yang dialami oleh Om Nana. Salah satu dari sedikit nelayan yang masih bertahan. Om Nana adalah seorang kepala keluarga dengan tiga anak. Kehidupannya dahulu sebelum reklamasi jauh lebih baik. Sebelum reklamasi, ia dapat memasang perangkap kepiting, menanam rumput laut, dan menangkap lebih banyak jenis ikan. Semua ia lakukan bergantung dengan musim. Laut di pesisir kotamara adalah “kebun subur” baginya yang tak pernah punya lahan di darat.
Kini, rezeki yang ia gantungkan dari
laut jauh berkurang setelah adanya reklamasi. Ia sudah tak punya cukup energi
untuk mengasah kemampuan lain karena selalu berkejaran dengan kewajiban mengisi
perut sekeluarga. Satu-satunya keahlian yang telah ia kuasai turun temurun
adalah keahlian menjaring dan memancing ikan. Dan baginya sulit berpaling dari
profesi yang telah dikerjakannya sejak remaja itu.
Om Nana sekarang masih mencari ikan di
sekitaran laut kotamara. Ikan yang didapat pun hanya ikan lompa, sebutan lokal untuk
keluarga ikan sardine yang tak terlalu
jadi favorit warga. Itupun masih sering diusir oleh satpol PP karena menjual di
area publik kotamara. Jika diresapi, urusan estetika kadang lebih penting dari
urusan perut rakyat kecil. Dan Om Nana kerap kali mengalah. Asal ada sesuatu
untuk dimakan pada hari itu, bagi Om Nana dan keluarga sudah cukup. Bila hari
sedang baik, ada sedikit uang yang bisa ditabung dari hasil berjualan ikan.
Uang itu bisa digunakan untuk keperluan sekolah ke tiga anaknya. Tidak
muluk-muluk, minimal ke tiga anaknya
bisa menyelesaikan Sekolah Menengah Atas.
Sudah tak ada keinginan bagi Om Nana
untuk mewariskan keahlian melaut kepada anak-anaknya. Sebab tabiat laut sudah
banyak berubah semenjak adanya reklamasi. Barangkali anak-anaknya akan merantau
menjadi pekerja tambang seperti kebanyakan pemuda di kampungnya.
Kampung nelayan di Nganganaumala,
Kaobula, dan Wameo perlahan kehilangan identitasnya. Generasi muda tidak lagi
tertarik menjadi nelayan karena laut tak lagi memberi janji kehidupan.
Sekolah-sekolah tidak mengajarkan bagaimana merawat laut, dan kota ini
tampaknya lebih sibuk membangun pusat perbelanjaan daripada membangun masa
depan pesisir.
Sebagai anak yang tumbuh di pesisir
Kotamara, saya menyaksikan perubahan ini dengan hati yang berat. Reklamasi
membangun secara fisik dan pada saat yang sama ia membongkar ingatan kolektif.
Kami tidak hanya kehilangan ruang hidup. Kami kehilangan sejarah, tradisi, dan
cara hidup yang diwariskan turun-temurun.
Laut sudah terdesak mundur, dan
bersamanya turut terseret segala kenangan akan kehidupan pesisir yang dulu
begitu hidup.
Ditulis oleh,
Alyasin Ayyash
Komentar
Posting Komentar