Langsung ke konten utama

Tambur VOC untuk La Elangi; Kolonialisme yang datang melalui bunyi


Di sebuah sore yang sepi pada bulan januari tahun 1641, Seorang utusan dari Banda berkunjung di Buton. Ia membawa kabar perihal Banda, selebes dan VOC. Kabar itu mengisahkan tentang aliansi
baru yang dibentuk oleh VOC seminggu yang lalu. Poros itu  dalam rangka persahabatan dan upaya ekonomi. Utusan itu lalu berkisah lagi soal pemberian hadiah dari VOC dalam banyak rupa. La Elangi tak bergeming. Ia lalu berjalan menuju jendela, Pandangannya terlempar ke arah laut. Sesuatu bernama gelisah sedang menggantung di wajahnya.

Pada paruh abad ke 17, Buton adalah kerajaan maritim. Kekuasaanya bertaut dengan  jaringan dagang nusantara dan peradaban islam. Di bawah La Elangi Sultan ke empat, Buton menjalin perimbangan kuasa antarkerajaan dan kekuatan asing yang masuk ke Laut Banda.

Berbeda dari pendekatan kekerasan yang diterapkan di wilayah lain, hubungan VOC dengan Buton dimulai dengan jalur diplomasi. Tidak ada perang. Kolonial datang sebagai kongsi yang menawarkan perkawanan. Buton setuju. Hubungan ini lalu ditandai dengan pemberian hadiah. Untuk menujukkan keagungan, juga superioritas, penyerahan benda-benda itu disertai dengan pengerahan pasukan dan upacara penuh tata karma.

Salah satu hadiah paling monumental untuk La Elangi adalah Tambur. Sebuah alat musik tabuh berbentuk spiral dengan kulit hewan yang diregangkan. Kisah tambur Belanda untuk Sultan Buton adalah contoh konkret bagaimana diplomasi kolonial tak selalu datang dengan kapal perang. Ia bisa datang lewat bingkisan, dentuman, dan bahkan simbol.

Dalam konteks Kesultanan Buton, tambur adalah kolonisasi yang datang melalui bunyi yang mengetuk benteng. Tambur menjadi semacam instrumen awal kolonialisme yang bukan meriam, tapi menggema dari dalam struktur budaya lokal suku buton.

Tambur sebagai Alat Kuasa

La Elangi sadar betul bahwa benda itu tidak datang tanpa maksud. Dalam setiap dentumannya, terdapat gema dari hubungan yang timpang. Setiap bunyi yang ditabuh menandakan kekuatan Eropa telah mendarat di Buton. “Tambur bukan alat netral” kata La Elangi pada sebuah musyawarah adat.  “Belanda tidak sedang memberi melainkan mengikat”

Seperti dicatat oleh Zainuddin, seorang etnomusikolog, pemberian benda semacam ini adalah praktik umum VOC untuk menanamkan simbol ketergantungan tanpa harus menguasai secara militer. Pernyataan ini juga senada dengan temuan catatan-catatan VOC dalam arsip Den Haag,

Namun alih-alih ditolak, tambur VOC dengan bentuk dan suaranya yang asing, lantas diterima. Tambur kemudian mulai digunakan dalam prosesi kerajaan. Mulai dari mengiringi upacara adat, mengatur ritme ritual, dan menandai momen penting kekuasaan.  

Budaya yang Tidak Takluk

Menariknya meski diterima, Buton tetap difensif. Ia bertahan lalu diam-diam menaruh siasat. Tambur diserap ke dalam kosmologi lokal. Tambur tidak lagi semata-mata suara asing, melainkan suara yang diolah, dijinakkan, dan dimaknai ulang. Seperti yang dicatat oleh Andaya, masyarakat kerajaan-kerajaan di Indonesia Timur kerap mengadaptasi pengaruh luar dengan cara mereka sendiri—sebuah bentuk diplomasi budaya yang lentur namun tidak kehilangan arah.

Hal ini terbukti dalam tradisi-tradisi Buton hingga hari ini. Dalam pertunjukan Tari Galangi  atau Lutunani. Tambur atau instrumen turunannya tetap dimainkan. Dentumannya menyatu dengan langkah penari dan nyanyian pujian. Di sebagian besar ruang adat, tambur itu bahkan dianggap pusaka. Narasi lisan menyebutnya “tambur yang berbicara”—bukan karena ia bernyanyi, melainkan karena ia mengabarkan arah sejarah.


La Ode Abdul Djabbar mencatat, bahwa sebagian tokoh adat melihat tambur sebagai “peringatan,” bukan “pemberian.” Artinya, masyarakat tidak melupakan konteks kemunculannya. Namun ingatan itu tidak dibebani dendam, melainkan dijadikan landasan untuk menegaskan ketahanan budaya.

Pendapat yang lain datang dari Brenner. Dalam jurnalnya yang berjudul Drummer of the Sultan Buton : the lasting influence of the Dutch East India Campany on Local Music Tradition, Brenner menunjukkan bagaimana ironi: Kesultanan Buton justru mengadopsi simbol kekuasaan kolonial, mulai dari  drum, seragam, dan bendera VOC untuk mengafirmasi kekuasaan lokalnya. Adopsi ini menurut Brenner, tidak serta-merta menghapus relasi kuasa yang timpang; sebaliknya, justru mempertegas garis batas antara penjajah dan jajahan.

Tambur yang diretas oleh Warga

Kisah tambur VOC untuk Sultan Buton adalah arsip bunyi: ia mencatat bukan hanya musik, tapi juga strategi politik, relasi kuasa, dan siasat budaya.

Layaknya La Elangi, dalam perjalanannya tambur juga mengalami peleburan lapis sosial. Dari tambur kerajaan menjadi tambur milik warga. Tambur tak lagi sekadar nada yang digaungkan saat pelantikan pejabat Sara, arak-arakan sultan atau penyambutan tamu penting. Tambur lebih dari itu. Ia melampaui batasannya yang hirarkis.


Tambur saat ini tidak lagi menandakan ketundukan. Tambur ditangan warga justru menandakan kebangkitan.  Ia tidak lagi ditabuh dalam dalam suasana agung atau dalam keriuhan manusia berpakaian adat. Tambur hadir di kolong-kolong rumah warga, diperayaan sunatan anak nelayan hingga digubuk-gubuk reyot ditengah hutan, tempat dimana konau ditenggak sambil menikmati petikan gambusu yang diiringi gendang.

Tambur telah diretas. Dari milik VOC, lalu menjadi milik kerajaan, lalu menjadi milik warga Buton. Disengaja ataupun tidak disengaja, tambur telah digubah. Dari bentuknya yang asing, lalu digubah lagi menjadi gendang dalam banyak bentuk dan penamaannnya.

Tambur itu masih ada. Kami mengenangnya bukan pemberian, Tambur adalah peringatan.

Ditulis oleh,

Firman Ali

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah dari Kaboneboneana

Sekumpulan bocah berlari kegirangan di atas pasir. Ada yang membuat bola pasir lalu mengadunya sampai salah satu bola   pecah. Sementara itu para remaja asik   menggiring bola, mengoper, dan berusaha mencetak gol di gawang yang hanya ditandai dengan tumpukan pasir dan sandal. Tim yang ketinggalan skor akan membuka bajunya. Dan pertandingan baru berakhir setelah kedua tim sama-sama kelelahan. Di tempat lain ada sekelompok ibu-ibu dan anak gadisnya yang mencari kerang, kepiting dan ikan untuk lauk makan malam. Di pesisir, ada nelayan yang menambal perahunya untuk digunakan kembali keesokan harinya.   Matahari mulai kembali ke peraduannya. Seluruh kegiatan itu akan berhenti ketika air naik atau azan magrib berkumandang. Mana yang lebih dulu hadir, itu tak penting. Air akan pasang dan menutupi pasir dan batuan karang. Masing-masing dari mereka akan bergegas menuju daratan.   Para ibu akan pulang untuk memasak ikan, kerang atau kepiting hasil buruan yang akan disantap...

Catatan dari Banti To Akoro Situs Dua

Hujan di bulan Juni bukan sekadar puisi. Hujan itu hadir secara literal di langit Nganganaumala. Hari kedua perhelatan Banti to akoro.  kampung Loji Sejak pagi, Dua Puluh Lima (25) Peserta sudah selesai registrasi. Hujan belum jua reda, sementara walking tour harus segera dimulai.  Para peserta Banti toakoro situs dua memulai penjelajahannya Dari kantor Kelurahan Nganganaumala. Mereka mengenakan jas hujan lalu berjalan menjajal lorong-lorong sempit di kampung Loji. Lorong sempit Loji III menyambut kami. Ada aroma yang menguar di mulut gang. Karakter baunya seperti halaman pertama dari buku tua yang berdebu. Penampakan yang lain adalah dinding rumah-rumah panggung tua yang menyimpan ingatan pemiliknya. Di sinilah perjalanan dimulai. tepat di depan salah satu rumah warga yang pada depannya terkapar dua buah meriam peninggalan VOC. Pemandu kami, Pak LM Yurid warga asli Loji, berdiri tenang memegang payung di hadapan para peserta. Ia memulai cerita dengan sebutir kata:  ...