Di nusantara, gambus
dikabarkan memulai perjalanannya di tanah Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, lalu
berlayar lagi menuju timur Indonesia. Pencapaiannnya adalah menjangkau
pelabuhan-pelabuhan yang menyentuh garis Wallacea. Pencapaian itu ditandai
dengan dimulainya Syiar Islam dan aktifitas Perdagangan. Secara simbolik, seluruh misi diatas kapal lalu
didaratkan, seluruhnya turun dari geladak kapal, tak terkecuali Gambus.
Sejak dulu,
jalur migrasi budaya maritim telah berlangsung di bumi Celebes. Mulai dari Makassar
hingga Bone. Jalur ini diperkirakan telah ada sejak abad Ke – 16. Tempat-tempat itu terkenal sebagai tempat
berlabuhnya para pedang Hadramaut, India, dan pelaut asal Indonesia barat. Anehnya,
pada tempat-tempat tersebut Gambus tidak menggoreskan kenangan. Gambus justru ikut berjalan dengan para penyiar
islam dan pedagang menuju Kepulauan
Maluku.
Sebelum memulai perjalanan yang jauh menuju Maluku, para penyiar-padagang
tersebut mencari daerah terdekat. Tujuannya untuk mengisi logistik dan menyiapkan perbekalan. Kepulauan yang
terdekat dalam lintasan perjalanan mereka adalah Kepulauan Pandai Besi, sebuah daerah kepulauan
yang terbuka secara georafis.
Sembari mengisi
keperluan logistik. Penyiar islam dan pedagang yang menenteng gambus ikut turun
dari kapal. Disana mereka bertemu warga pulau. Dari pertemuan itu terjadilah interaksi yang
intens, hingga akhirnya gambus menemukan ‘rumah baru’.
Dalam banyak literatur,
penduduk kepulauan pandai besi sangatlah terbuka, baik terhadap pelaut
nusantara maupun para pedagang asing. Pertemuan ini lalu menghasilkan
keterbukaan. Gambus telah mendapat ruang ditengah-tengah warga. Gambus memainkan
peran komunikasi yang relatif cair dan mudah diterima.
Kepulauan Pandai Besi
Sebelum berbaur
dengan tradisi warga pulau setempat, gambus cenderung berlanggam arabik. Kecenderungan ini barangkali lahir karena
pertemuannya dengan Melayu di kepulauan Riau. Dengan percampuran itu gambus
mengalami perubahan warna dan fungsi.
Dari warna ketukan
Gambus yang sebelumnya bernuansa melayu, lalu berubah ke langgam warna music
Pulau. Iramanya bertatut dengan langgam dangdut. Uniknya, ia tidak melepaskan
nuansa melayu di bebunyiannya.
Gambus tidak
sekadar keriuhan dan rekreasi semata, gambus juga hadir dalam tradisi ke
agamaan dan seluruh hajatan-hajatan warga Pulau. Keseluruhan pengulangan-pengulangan itu
membuat gambus mengakar dan menjadi laku hidup sehari – hari. Ia tumbuh bersama
masyarakat disana. Tak hanya didarat, gambus bahkan mengambil peran penting
saat berlayar mengarungi Samudra.
La Asiru namanya,
pria yang kini menjelang senja. Seorang warga Pulau yang menggantungkan seluruh
hidupnya bersama alam. Dari Pagi hingga petang. Dari saat matahari baru saja hendak terbit, ia
telah gontai menuju kebun. Disana ia tak
hanya memetik sayur, ia juga berbagi hidup dengan kambing – Kambing
peliharaannya. lalu saat petang hampir tiba, ia bergegas menuju laut, sekadar menangkap beberapa ekor ikan untuk santapan
saat malam tiba.
La Asiru adalah
satu dari sekian legenda bagi Warga Pulau,
Semasa muda ia bersama sejawatnya adalah kelompok penjinak keganasan
ombak lautan lepas. Kopra, pala, dan cengkeh adalah penumpang kapalnya. Pelayarannya
membawa hasil alam menjangkau di Filipina hingga negeri Kangguru adalah kisah
yang ia toreh diingatan warga kampungnya.
Terkadang, dalam
sebuah pelayaran memuat rempah berminggu-minggu, La Asiru didera kekosongan.
Pada saat-saat tersebut biasanya ia akan duduk ujung kapal. Tubuhnya akan ia
biarkan tersorot oleh purnama yang berpendar dan aroma rempah menguasai perahu.
Untuk mengalahkan kekosongan, biasanya la Asiru akan bersenandung, ia lalu mulai
memetik Gambus tuanya. Tuturan kerinduan kampung halaman nan jauh disana meluncur
dari bibirnya. Syair puja – puji terhadap keagungan Tuhan tak lupa ia
ungkapkan. Kombinasi petikkan gambus dan suaranya yang parau memecah keheningan suasana malam,
angin seolah terdiam, bulan lalu membeku.
Hari demi hari berlalu, La Asiru hidup
berdampingan dengan Gambus. “Sebelum layar terbentang lebar, mereka harus
memastikan bahwa, Gambus sudah harus duduk manis di atas kapal”. Tanya La Asiru
yang berbadan tinggi nan gempal kepada temannya.
Gambus La Asiru
ia buat seorang diri dengan mengambil bahan bakunya di hutan yang tidak jauh
dari rumahnya. Saat ia berjalan ke hutan, tangannya memeluk tubuhnya sendiri.
Gestur tubuh yang praktekkan ini agar ayunan tangannya tidak menjatuhkan atau
menggugurkan tanaman yang ia lewati. Ia berkeyakinan “setiap tumbuhan dan hewan
yang hidup di muka bumi ini mempunyai nyawa, jangan sakiti sesama mahkuk
hidup”. Ungkapnya sembari memberikan senyuman penuh, senyumannya itu memberikan
makna agar setiap yang bernyawa harus saling menyanyangi didarat maupun di
laut.
Gambus mempunyai
peran yang penting terhadap laku hidup Masyarakat maritim Kepulauan Pandai
Besi. Tidak hanya menemani perjalanan mengarungi lautan, Gambus hadir di Tengah
– Tengah kehidupan istri pelaut, Gambus berubah menjadi obat penenang kala anak
sedang rindu ayahnya yang sedang berlayar. Gambus dipetik lalu akan diikuti
dengan nyanyian yang berbahasa daerah agar anak menjadi tenang. Gambus juga
kerap menjadi media ungkapan harapan – harapan baik terhadap sang buah hati
agar kelak menjadi anak yang berhasil dimasa mendatang. Gambus sudah sangat
mengakar dengan keseharian masyrakat Kepulauan Pandai Besi hingga sekarang.
Baubau – Buton Tengah
Pada Abad ke-16,
Kerajaan Buton menjadi pusat
pemerintahan, termasuk Sebagian pulau – pulau yang tersebar disekitar teluk dan
selat Buton. Di tangan Kerajaan Buton, Gambus disebar luaskan melalui jalur
kekuasaan Kerajaan. Baik politik maupun kebudayaan. Namun, jauh sebelum gambus
dijinakkan menjadi entitas kekuaaan, Gambus telah hidup berdampingan secara
sosial dengan Masyarakat, bahkan tanpa memilih kasta. Gambus pada masanya
menciptakan rasa Bahagia bagi siapapun, mulai dari penjaga kebun hingga warga
yang sehari-hari bekerja untuk Kerajaan.
La Mali Namanya,
usianya sudah menjelang senja. Ia hidup di kampung Gonda, sebuah kampung kecil
dipinggiran Kota Baubau. Keseharian La Mali lebih banyak menjaga kebun
miliknya, sesekali ia pergi dihutan untuk
mengumpul sisa-sisa potongan kayu dari sebuah perusahaan yang
beroperasi
di hutan lindung. Lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Dari potongan sisa
illegal loging tersebut, La Mali menyulapnya menjadi Gambus, sendok makan,
gendang, dan bedug masjid. Olahan tersebut nantinya ia pajang dilapak sederhananya,
sebuah kamar kecil yang ia buat bersambung
langsung dengan bangunan utama rumah miliknya. Dalam seminggu ia turun ke Ke
Baubau untuk memasarkan jualannya di pasar sentral yang berjarak kurang lebih
20 KM dari rumahnya.
Pada waktu-waktu
tertentu, baik untuk berdagang di pasar atau menjaga kebunnya, La Mali tidak
pernah melupakan untuk menggendong Gambus di punggungnya. Serasa ada yang
janggal bila ia tidak membersamai Gambus. Terkadang, sembari menjaga kebun baik
siang ataupun malam, suara petikkan gambus dari La Mali dapat memecah
keheningan, dari bunyi itu lalu membuat babi – monyet yang akan merusak
tanamannya ketakutan. Monyet dan babi itu kemudian akan lari terbirit – birit.
Lantunan dawaian gambus yang di mainkan La
Mali, lebih banyak menggunakan Bahasa wolio. Syair-syair yang ia buat sarat akan makna keberlimpahan hasil panen
kebunnya.
Jauh di pulau
seberang, tepatnya di kabuputen Buton Tengah,
seorang pria bernama La Taumane hidup beranak pinak. Separuh umurnya ia
habiskan dengan merawat kebun. Baginya kebun adalah penyambung hidup
utamanya.Olehnya, Pada waktu-waktu tertentu, atau saat kebunnya sebentar lagi
akan tiba musim panen, ia akan segera
menyiapkan segala keperluan, salah satunya adalah perbekalan makanan yang akan
menemaninya selama hidup di kebun saat musim panen tiba.
Keperluan yang
tak kalah penting juga adalah Gambus. Ia tidak membawa Gambus lagi dari
rumahnya, sebab Gambuslah yang telah menunggunya di kebun. Gambus tersebut
sudah ada lama ia simpan dikebun. Ia sengaja tak membawanya lagi pulang ke rumah.
Gambus menjadi sahabat yang paling setia dengannya. Ia membuat gambusnya dengan
mendapatkan kayu dari kebun miliknya. Gambus itu ia buat kurang lebih dalam
sebulan. Gambus La Taumane unik, ia telah mencantolkan teknologi sederhana pada
gambusnya. Gambus tersebut sudah di buatkan lubang kabel COK yang nantinya akan
sambungkan di Speaker.
La Tau Mane
terbuka dengan kemajuan zaman. Ia percaya, Gambus bisa mengikuti perkembangan
zaman. Kepercayaannya tidak sekedar bualan semata, ia sadar Gambus sudah di
penghujung kejayaannya. “Kalau tidak dimodifikasi sedikit pasti akan punah juga
ini gambus, apalagi orang zaman sekarang sudah jarang yang mau belajar main
gambus. Apalagi ini pemerintah tidak terlalu peduli dengan pemain gambus, nanti
pi ada acara daerah baru kita orang dipanggil.” Ujarnya sambil duduk diteras
kebunnya memeluk Gambus dengan raut muka sedih.
Sejak kedatangannya
ke berbagai tempat, gambus telah berhasil
memperluas definisi kesenian ditubuhnya. Gambus telah menerabas batas antara
definisi dan fungsinya. Gambus tak sekedar pelipur lara saat hati sedang
gundah, namun lebih dari itu. Gambus adalah Doa, Gambus adalah perkakas
pelayaran, gambus adalah Perkakas mengahalau hama, gambus adalah upaya untuk
hidup.
Ditulis oleh,
Alzein Rama Destafa Ferinti
Komentar
Posting Komentar