Langsung ke konten utama

Gambus; Dari laut menuju Kebun



Berabad – abad lalu, sekelompok pedagang dari Hadramaut Yaman menyusuri Samudra Hindia. Misi utama mereka untuk membawa agama Islam. Diantara misi suci itu, mereka juga berniaga aneka barang dan kebutuhan. Selain rempah dan aneka kain khas untuk diperjualbelikan,  terseliplah sebuah alat. Alat itu menggantung pada dinding dalam palka perahu. Bahan dasarnya  terbuat dari kayu. Kepalanya kurus. Badan dan kakinya menyatu. pada bagian bawah alat ini, bentuknya menyerupai lambung perahu. Alat musik tersebut bernama gambus.  

Di nusantara, gambus dikabarkan memulai perjalanannya di tanah Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, lalu berlayar lagi menuju timur Indonesia. Pencapaiannnya adalah menjangkau pelabuhan-pelabuhan yang menyentuh garis Wallacea. Pencapaian itu ditandai dengan dimulainya Syiar Islam dan aktifitas Perdagangan.  Secara simbolik, seluruh misi diatas kapal lalu didaratkan, seluruhnya turun dari geladak kapal, tak terkecuali Gambus.

Sejak dulu, jalur migrasi budaya maritim telah berlangsung di bumi Celebes. Mulai dari Makassar hingga Bone. Jalur ini diperkirakan telah ada sejak abad Ke – 16.  Tempat-tempat itu terkenal sebagai tempat berlabuhnya para pedang Hadramaut, India, dan pelaut asal Indonesia barat. Anehnya, pada tempat-tempat tersebut Gambus tidak menggoreskan kenangan.  Gambus justru ikut berjalan dengan para penyiar islam dan pedagang  menuju Kepulauan Maluku.

Sebelum memulai perjalanan  yang jauh menuju Maluku, para penyiar-padagang tersebut mencari daerah terdekat. Tujuannya untuk mengisi logistik  dan menyiapkan perbekalan. Kepulauan yang terdekat dalam lintasan perjalanan mereka adalah  Kepulauan Pandai Besi, sebuah daerah kepulauan yang terbuka secara georafis.  

Sembari mengisi keperluan logistik. Penyiar islam dan pedagang yang menenteng gambus ikut turun dari kapal. Disana mereka bertemu warga pulau.  Dari pertemuan itu terjadilah interaksi yang intens, hingga akhirnya gambus menemukan ‘rumah baru’.

Dalam banyak literatur, penduduk kepulauan pandai besi sangatlah terbuka, baik terhadap pelaut nusantara maupun para pedagang asing. Pertemuan ini lalu menghasilkan keterbukaan. Gambus telah mendapat ruang ditengah-tengah warga. Gambus memainkan peran komunikasi yang relatif cair dan mudah diterima.  

 

Kepulauan Pandai Besi

Sebelum berbaur dengan tradisi warga pulau setempat, gambus cenderung berlanggam arabik. Kecenderungan ini barangkali lahir karena pertemuannya dengan Melayu di kepulauan Riau. Dengan percampuran itu gambus mengalami perubahan warna dan fungsi.

Dari warna ketukan Gambus yang sebelumnya bernuansa melayu, lalu berubah ke langgam warna music Pulau. Iramanya bertatut dengan langgam dangdut. Uniknya, ia tidak melepaskan nuansa melayu di bebunyiannya.

Gambus tidak sekadar keriuhan dan rekreasi semata, gambus juga hadir dalam tradisi ke agamaan dan seluruh hajatan-hajatan warga Pulau.  Keseluruhan pengulangan-pengulangan itu membuat gambus mengakar dan menjadi laku hidup sehari – hari. Ia tumbuh bersama masyarakat disana. Tak hanya didarat, gambus bahkan mengambil peran penting saat berlayar mengarungi Samudra.  

La Asiru namanya, pria yang kini menjelang senja. Seorang warga Pulau yang menggantungkan seluruh hidupnya bersama alam. Dari Pagi hingga petang.  Dari saat matahari baru saja hendak terbit, ia telah gontai  menuju kebun. Disana ia tak hanya memetik sayur, ia juga berbagi hidup dengan kambing – Kambing peliharaannya. lalu saat petang hampir tiba, ia bergegas menuju laut, sekadar  menangkap beberapa ekor ikan untuk santapan saat malam tiba.

La Asiru adalah satu dari sekian legenda bagi Warga Pulau,  Semasa muda ia bersama sejawatnya adalah kelompok penjinak keganasan ombak lautan lepas. Kopra, pala, dan cengkeh adalah penumpang kapalnya. Pelayarannya membawa hasil alam menjangkau di Filipina hingga negeri Kangguru adalah kisah yang ia toreh diingatan warga kampungnya.

Terkadang, dalam sebuah pelayaran memuat rempah berminggu-minggu, La Asiru didera kekosongan. Pada saat-saat tersebut biasanya ia akan duduk ujung kapal. Tubuhnya akan ia biarkan tersorot oleh purnama yang berpendar dan aroma rempah menguasai perahu. Untuk mengalahkan kekosongan, biasanya la Asiru akan bersenandung, ia lalu mulai memetik Gambus tuanya. Tuturan kerinduan kampung halaman nan jauh disana meluncur dari bibirnya. Syair puja – puji terhadap keagungan Tuhan tak lupa ia ungkapkan. Kombinasi petikkan gambus dan suaranya  yang parau memecah keheningan suasana malam, angin seolah terdiam, bulan lalu membeku.

Hari demi hari berlalu, La Asiru hidup berdampingan dengan Gambus. “Sebelum layar terbentang lebar, mereka harus memastikan bahwa, Gambus sudah harus duduk manis di atas kapal”. Tanya La Asiru yang berbadan tinggi nan gempal kepada temannya.

Gambus La Asiru ia buat seorang diri dengan mengambil bahan bakunya di hutan yang tidak jauh dari rumahnya. Saat ia berjalan ke hutan, tangannya memeluk tubuhnya sendiri. Gestur tubuh yang praktekkan ini agar ayunan tangannya tidak menjatuhkan atau menggugurkan tanaman yang ia lewati. Ia berkeyakinan “setiap tumbuhan dan hewan yang hidup di muka bumi ini mempunyai nyawa, jangan sakiti sesama mahkuk hidup”. Ungkapnya sembari memberikan senyuman penuh, senyumannya itu memberikan makna agar setiap yang bernyawa harus saling menyanyangi didarat maupun di laut.

Gambus mempunyai peran yang penting terhadap laku hidup Masyarakat maritim Kepulauan Pandai Besi. Tidak hanya menemani perjalanan mengarungi lautan, Gambus hadir di Tengah – Tengah kehidupan istri pelaut, Gambus berubah menjadi obat penenang kala anak sedang rindu ayahnya yang sedang berlayar. Gambus dipetik lalu akan diikuti dengan nyanyian yang berbahasa daerah agar anak menjadi tenang. Gambus juga kerap menjadi media ungkapan harapan – harapan baik terhadap sang buah hati agar kelak menjadi anak yang berhasil dimasa mendatang. Gambus sudah sangat mengakar dengan keseharian masyrakat Kepulauan Pandai Besi hingga sekarang.

Baubau – Buton Tengah

Pada Abad ke-16, Kerajaan  Buton menjadi pusat pemerintahan, termasuk Sebagian pulau – pulau yang tersebar disekitar teluk dan selat Buton. Di tangan Kerajaan Buton, Gambus disebar luaskan melalui jalur kekuasaan Kerajaan. Baik politik maupun kebudayaan. Namun, jauh sebelum gambus dijinakkan menjadi entitas kekuaaan, Gambus telah hidup berdampingan secara sosial dengan Masyarakat, bahkan tanpa memilih kasta. Gambus pada masanya menciptakan rasa Bahagia bagi siapapun, mulai dari penjaga kebun hingga warga yang sehari-hari bekerja untuk  Kerajaan.

La Mali Namanya, usianya sudah menjelang senja. Ia hidup di kampung Gonda, sebuah kampung kecil dipinggiran Kota Baubau.   Keseharian La Mali lebih banyak menjaga kebun miliknya, sesekali ia pergi dihutan untuk  mengumpul sisa-sisa potongan kayu dari sebuah perusahaan yang
beroperasi di hutan lindung. Lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Dari potongan sisa illegal loging tersebut, La Mali menyulapnya menjadi Gambus, sendok makan, gendang, dan bedug masjid. Olahan tersebut nantinya ia pajang dilapak sederhananya, sebuah kamar kecil yang  ia buat bersambung langsung dengan bangunan utama rumah miliknya. Dalam seminggu ia turun ke Ke Baubau  untuk memasarkan jualannya  di pasar sentral yang berjarak kurang lebih 20 KM dari rumahnya.

Pada waktu-waktu tertentu, baik untuk berdagang di pasar atau menjaga kebunnya, La Mali tidak pernah melupakan untuk menggendong Gambus di punggungnya. Serasa ada yang janggal bila ia tidak membersamai Gambus. Terkadang, sembari menjaga kebun baik siang ataupun malam, suara petikkan gambus dari La Mali dapat memecah keheningan, dari bunyi itu lalu membuat babi – monyet yang akan merusak tanamannya ketakutan. Monyet dan babi itu kemudian akan lari terbirit – birit.

Lantunan dawaian gambus yang di mainkan La Mali, lebih banyak menggunakan Bahasa wolio. Syair-syair yang ia buat  sarat akan makna keberlimpahan hasil panen kebunnya.

Jauh di pulau seberang, tepatnya di kabuputen Buton Tengah,  seorang pria bernama La Taumane hidup beranak pinak. Separuh umurnya ia habiskan dengan merawat kebun. Baginya kebun adalah penyambung hidup utamanya.Olehnya, Pada waktu-waktu tertentu, atau saat kebunnya sebentar lagi akan tiba musim panen,  ia akan segera menyiapkan segala keperluan, salah satunya adalah perbekalan makanan yang akan menemaninya selama hidup di kebun saat musim panen tiba.

Keperluan yang tak kalah penting juga adalah Gambus. Ia tidak membawa Gambus lagi dari rumahnya, sebab Gambuslah yang telah menunggunya di kebun. Gambus tersebut sudah ada lama ia simpan dikebun.  Ia  sengaja tak membawanya lagi pulang ke rumah. Gambus menjadi sahabat yang paling setia dengannya. Ia membuat gambusnya dengan mendapatkan kayu dari kebun miliknya. Gambus itu ia buat kurang lebih dalam sebulan. Gambus La Taumane unik, ia telah mencantolkan teknologi sederhana pada gambusnya. Gambus tersebut sudah di buatkan lubang kabel COK yang nantinya akan sambungkan di Speaker.

La Tau Mane terbuka dengan kemajuan zaman. Ia percaya, Gambus bisa mengikuti perkembangan zaman. Kepercayaannya tidak sekedar bualan semata, ia sadar Gambus sudah di penghujung kejayaannya. “Kalau tidak dimodifikasi sedikit pasti akan punah juga ini gambus, apalagi orang zaman sekarang sudah jarang yang mau belajar main gambus. Apalagi ini pemerintah tidak terlalu peduli dengan pemain gambus, nanti pi ada acara daerah baru kita orang dipanggil.” Ujarnya sambil duduk diteras kebunnya memeluk Gambus dengan raut muka sedih.

Sejak kedatangannya ke berbagai tempat,  gambus telah berhasil memperluas definisi kesenian ditubuhnya. Gambus telah menerabas batas antara definisi dan fungsinya. Gambus tak sekedar pelipur lara saat hati sedang gundah, namun lebih dari itu. Gambus adalah Doa, Gambus adalah perkakas pelayaran, gambus adalah Perkakas mengahalau hama, gambus adalah upaya untuk hidup.


Ditulis oleh,

Alzein Rama Destafa Ferinti

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tambur VOC untuk La Elangi; Kolonialisme yang datang melalui bunyi

Di sebuah sore yang sepi pada bulan januari tahun 1641, Seorang utusan dari Banda berkunjung di Buton. Ia membawa kabar perihal Banda, selebes dan VOC. Kabar itu mengisahkan tentang aliansi baru yang dibentuk oleh VOC seminggu yang lalu. Poros itu  dalam rangka persahabatan dan upaya ekonomi. Utusan itu lalu berkisah lagi soal pemberian hadiah dari VOC dalam banyak rupa. La Elangi tak bergeming. Ia lalu berjalan menuju jendela, Pandangannya terlempar ke arah laut. Sesuatu bernama gelisah sedang menggantung di wajahnya. Pada paruh abad ke 17, Buton adalah kerajaan maritim. Kekuasaanya bertaut dengan   jaringan dagang nusantara dan peradaban islam. Di bawah La Elangi Sultan ke empat, Buton menjalin perimbangan kuasa antarkerajaan dan kekuatan asing yang masuk ke Laut Banda. Berbeda dari pendekatan kekerasan yang diterapkan di wilayah lain, hubungan VOC dengan Buton dimulai dengan jalur diplomasi. Tidak ada perang. Kolonial datang sebagai kongsi yang menawarkan perkawanan. B...

Catatan dari Banti To Akoro Situs Dua

Hujan di bulan Juni bukan sekadar puisi. Hujan itu hadir secara literal di langit Nganganaumala. Hari kedua perhelatan Banti to akoro.  kampung Loji Sejak pagi, Dua Puluh Lima (25) Peserta sudah selesai registrasi. Hujan belum jua reda, sementara walking tour harus segera dimulai.  Para peserta Banti toakoro situs dua memulai penjelajahannya Dari kantor Kelurahan Nganganaumala. Mereka mengenakan jas hujan lalu berjalan menjajal lorong-lorong sempit di kampung Loji. Lorong sempit Loji III menyambut kami. Ada aroma yang menguar di mulut gang. Karakter baunya seperti halaman pertama dari buku tua yang berdebu. Penampakan yang lain adalah dinding rumah-rumah panggung tua yang menyimpan ingatan pemiliknya. Di sinilah perjalanan dimulai. tepat di depan salah satu rumah warga yang pada depannya terkapar dua buah meriam peninggalan VOC. Pemandu kami, Pak LM Yurid warga asli Loji, berdiri tenang memegang payung di hadapan para peserta. Ia memulai cerita dengan sebutir kata:  ...

Catatan dari Banti toakoro Situs satu

Malam itu saya memilih berdiri di antara barisan warga. Menyisip di antara ibu-ibu bersarung dan anak-anak yang duduk bersila di atas meriam. Mendung masih menggantung di langit keraton. Di Sebelah utara tampak beberapa warga telah memenuhi galampa. Keraton mulai ramai. Tapi bukan oleh hiruk-pikuk pejabat dengan kamera dan protokol. Tidak ada kursi VIP. Yang ada hanyalah warga. Dengan tubuhnya. Dengan ingatannya. Dengan matanya yang jernih menatap ke tengah panggung yang tanpa panggung. Di sinilah sejarah malam itu dibuka kembali, bukan oleh seremoni, tapi oleh tubuh-tubuh yang menyimpan luka dan nyanyian. Banti to Akoro, Sebuah pertunjukkan yang mengundang siapapun sebagai penyaksi, bukan penonton. Teater Tanpa Titik Pusat Sekali lagi, pertunjukan Banti to Akoro tidak menawarkan satu titik pusat. Penonton bergerak mengikuti arah suara, tubuh, dan Cahaya. Seolah teater ini bukan pertunjukan, melainkan ritual yang mewajibkan tubuh untuk terlibat. Banti to Akoro situs satu mengam...