Matahari tepat di atas kepala saat beberapa pemuda menghujamkan linggis di atas tanah pekuburan umum itu. Hari itu duka singgah di kampung Lingge-Lingge, sebuah kampung kecil di Kelurahan Lanto, Kota Baubau. Seorang ibu muda baru saja menghadap keharibaan Ilahi. Dan sudah menjadi kelaziman para pemuda kampung akan berinisiatif menggali kubur secara sukarela.
Peluh bercucuran dari tubuh Ogut, 24, salah
seorang pemuda yang tak pernah absen saat ada kegiatan gali kubur. Segelas
konau baru saja ditandas habis untuk membasuh tenggorokannya dan memberinya
energi di siang yang terik itu. Sebagai pekerja serabutan, Ogut selalu
menyempatkan waktu untuk menggali kubur apabila diperlukan. Sebab ia tak pernah
terikat dengan jam kantor dalam bekerja.
Di tepi liang lahat yang semakin dalam, Ogut dan
kawan-kawan tetap bekerja dengan cekatan. Satu demi satu, cangkul dan linggis
bergantian mengoyak tanah kapur yang cukup keras itu. Sesekali, terdengar suara
helaan napas berat dan lelah, tetapi mereka tak menghentikan pekerjaannya.
Sesekali pula mereka menyeka peluh di dahi dengan lengan baju yang sudah penuh
tanah.
Ketika lubang sudah cukup dalam, Ogut naik ke
atas, membersihkan tangannya dari tanah yang melekat, lalu meneguk konau sekali
lagi. “Seteguk buat tenaga, seteguk buat doa,” gumamnya, diikuti tawa kecil
dari teman-temannya.
Seperti sudah menjadi peraturan tak tertulis di
kampung kami bahwa ketika para pemuda sedang menggali kubur, minuman tuak
tradisional bernama konau wajib disajikan bagi para penggali.
Konau, minuman tuak hasil fermentasi dari pohon
enau, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi gali kubur di kampung
kami. Minuman ini menurut Takim, salah satu penggali kubur, mampu memberi
tenaga, menghangatkan tubuh, dan menjaga semangat mereka agar tetap kuat
bekerja hingga liang lahat siap.
Kebiasaan ini hadir bukan tanpa alasan. Para
pemuda yang menggali kubur adalah sekelompok anak muda yang kesehariannya
memang akrab dengan minuman beralkohol. Tak ada yang bersedia menggali kubur
selain mereka. Selain itu rata-rata mereka adalah pekerja lepas alias serabutan
yang tak terikat jam kerja ketat layaknya pekerja kantoran. Sehingga kapanpun
tenaga mereka diperlukan, mereka selalu siap, tanggap, dan trengginas.
Maka, selama bertahun-tahun, tradisi ini terus
berlanjut—tanpa ada yang mempermasalahkan, tanpa ada yang merasa perlu
mengubahnya. Para pemuda itu barangkali perlu menenggak konau agar suasana
menjadi cair di tengah-tengah liang lahat yang kaku dan dingin. Maka tak heran
dalam suasana itu selalu saja terselip canda tawa dalam iringan linggis yang
menghujam bumi dan gelas konau yang berputar.
Bagi sebagian orang yang religius, ini terdengar
janggal, bahkan tabu. Bagaimana mungkin sebuah peristiwa sakral seperti
kematian disusupi oleh minuman beralkohol dalam salah satu tahap ritualnya?
Namun di kampung kami, hal ini bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan. Konau
bukan sekadar minuman, melainkan simbol kebersamaan dan tenaga yang
menggerakkan roda tradisi. Ia menjadi saksi bisu atas kesetiaan para pemuda
kampung yang tak pernah absen setiap kali kematian mengetuk pintu.
Sementara para pemuda terus menggali di bawah terik matahari, di rumah duka, tangis masih terdengar. Kematian datang tanpa bisa ditebak, meninggalkan kesedihan yang sama, tetapi juga mengingatkan bahwa hidup hanyalah persinggahan. Di tengah cucuran peluh, segelas konau berpindah tangan, dan linggis kembali dihunjamkan ke tanah, seolah mengukuhkan bahwa tradisi ini akan terus hidup, selama masih ada pemuda yang bersedia menggali.
Ditulis oleh
Alyasin ayyash
Komentar
Posting Komentar