Langsung ke konten utama

Catatan dari Banti toakoro Situs satu


Malam itu saya memilih berdiri di antara barisan warga. Menyisip di antara ibu-ibu bersarung dan anak-anak yang duduk bersila di atas meriam. Mendung masih menggantung di langit keraton. Di Sebelah utara tampak beberapa warga telah memenuhi galampa. Keraton mulai ramai. Tapi bukan oleh hiruk-pikuk pejabat dengan kamera dan protokol. Tidak ada kursi VIP. Yang ada hanyalah warga. Dengan tubuhnya. Dengan ingatannya. Dengan matanya yang jernih menatap ke tengah panggung yang tanpa panggung. Di sinilah sejarah malam itu dibuka kembali, bukan oleh seremoni, tapi oleh tubuh-tubuh yang menyimpan luka dan nyanyian. Banti to Akoro, Sebuah pertunjukkan yang mengundang siapapun sebagai penyaksi, bukan penonton.

Teater Tanpa Titik Pusat

Sekali lagi, pertunjukan Banti to Akoro tidak menawarkan satu titik pusat. Penonton bergerak mengikuti arah suara, tubuh, dan Cahaya. Seolah teater ini bukan pertunjukan, melainkan ritual yang mewajibkan tubuh untuk terlibat.

Banti to Akoro situs satu mengambil core Halaman masjid, Baruga, dan Lawananto.  Tiga titik utama yang menjadi poros simbolik dan fisik yang menyusun jalannya pertunjukan. Namun semua ruang di sekelilingnya seperti rumah warga, kolong baruga, dinding batu, bahkan bayangan pohon asam—menjadi bagian dari panggung. Teater ini menolak struktur klasik. Ia mengambil bentuk seperti kota itu sendiri: cair, berpola melingkar, dan kadang membingungkan.

Tubuh Tua dan Batu Leluhur

Pertunjukan dibuka dengan adegan tunggal yang langsung mencengkeram: seorang lelaki tua mendobrak masuk dari arah kerumunan. Rambutnya gondrong, memutih seperti benang tua yang belum dijahit. Ia mengenakan jubah panjang bertenun Buton, motifnya samar dalam cahaya remang, seolah tubuh itu menjelma naskah yang sudah hampir hilang terbaca. Lelaki itu berbicara tanpa artikulasi. Sementara tubuhnya menubuatkan sesuatu yang genting.


Tak lama kemudian, sekelompok orang masuk membawa dupa dan api. Mereka mengitari sebuah batu yang diletakkan di tengah lingkaran. Asap dari dupa menari-nari dalam udara dingin, mengikat batu itu dengan wangi. Batu itu tidak besar, tidak mencolok tapi terasa seperti pusat gravitasi semalam. Di hadapannya, tubuh manusia menjadi kecil. Adegan ini seperti upacara pemanggilan arwah. Tempat batu sebagai penanda sejarah yang membeku , serta tubuh-tubuh manusia yang berusaha merawat apa yang telah nyaris dilupakan.

Rombongan Perempuan dari Buah Nanas

Dari sisi halaman, rombongan perempuan muncul. Wajah mereka tertutup selembar kain putih, membentuk gerombolan tubuh tanpa ekspresi. Mereka keluar perlahan dari sebuah instalasi berbentuk buah nanas. Sebuah bentuk yang aneh, mungkin lucu bagi yang terbiasa menonton teater dalam kotak-kotak makna literal. Tapi dalam tafsir simbolik, nanas adalah buah kebal: berduri di luar, manis di dalam. Dan ketika tubuh-tubuh perempuan itu keluar darinya, teater ini menjadi semacam kelahiran ulang—bukan dari rahim, tapi dari ingatan dan ketakutan.

Gerakan mereka pelan, terkoordinasi, namun tidak padu. Seolah masing-masing menyimpan rahasia berbeda. Di sela gerakan mereka, sesekali terdengar suara perempuan melantunkan mantra dalam bahasa Wolio. Suara itu datang dari arah yang tak jelas, seperti suara angin yang menyusup di antara celah baruga. Bahasa Wolio yang dinyanyikan itu bukan untuk dipahami secara harfiah, melainkan untuk dirasakan sebagai getaran—sebuah mantra pelindung yang telah kehilangan makna, tetapi belum kehilangan kekuatan.


Adegan ini ditutup oleh suara ledakan. Tiba-tiba. Tanpa aba-aba. Tubuh-tubuh dalam lingkaran terlempar ke tanah. Tak ada darah, tak ada jeritan. Hanya keheningan yang menggema setelahnya. Semua terbaring. Bahkan batu di tengah menjadi sunyi. Penonton terdiam. Dalam suasana itu, batas antara pertunjukan dan kenyataan menjadi keruh.

Teater Sebagai Ritual Kolektif

Apa yang dipentaskan Teater Sora malam itu bukanlah narasi linier, melainkan fragmen ingatan dan simbol-simbol tubuh yang berserakan. Teater ini tidak mencari penyelesaian. Ia menawarkan luka-luka yang belum dijahit dan sejarah yang tak pernah selesai dirundingkan.

Tidak adanya panggung pusat bukan sekadar eksperimen estetika. Itu adalah pernyataan politik. Di ruang yang dulu menjadi pusat musyawarah, kini semua suara diberi tempat. Banti to Akoro menjadikan seluruh halaman—masjid, baruga, Lawananto—sebagai tubuh panggung yang bernapas. Penonton tidak diatur dalam kursi, melainkan diundang untuk berdiri, berpindah, dan kadang ikut masuk dalam lingkaran peristiwa.

Teater ini membongkar fungsi ruang publik yang selama ini diam. Ia menjadikan ruang tersebut hidup kembali, bukan sebagai benda warisan, tapi sebagai arena hidup warga hari ini. Sebuah ritual kolektif, tempat tubuh-tubuh yang selama ini disingkirkan—perempuan, tua, bahasa daerah, batu-batu tua—diberi tempat terhormat dalam dramaturgi sejarahnya sendiri.

Banti to Akoro Malam Pertama bukan pertunjukan yang menjawab pertanyaan. Ia menambah pertanyaan, melemparkannya ke udara malam yang mendung dan membiarkan warga membawa pulang kegelisahan itu. Dan mungkin disitulah kekuatannya; bukan sebagai tontonan yang memuaskan, tetapi sebagai ingatan yang membangunkan

Ditulis oleh,

Firman Ali

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tambur VOC untuk La Elangi; Kolonialisme yang datang melalui bunyi

Di sebuah sore yang sepi pada bulan januari tahun 1641, Seorang utusan dari Banda berkunjung di Buton. Ia membawa kabar perihal Banda, selebes dan VOC. Kabar itu mengisahkan tentang aliansi baru yang dibentuk oleh VOC seminggu yang lalu. Poros itu  dalam rangka persahabatan dan upaya ekonomi. Utusan itu lalu berkisah lagi soal pemberian hadiah dari VOC dalam banyak rupa. La Elangi tak bergeming. Ia lalu berjalan menuju jendela, Pandangannya terlempar ke arah laut. Sesuatu bernama gelisah sedang menggantung di wajahnya. Pada paruh abad ke 17, Buton adalah kerajaan maritim. Kekuasaanya bertaut dengan   jaringan dagang nusantara dan peradaban islam. Di bawah La Elangi Sultan ke empat, Buton menjalin perimbangan kuasa antarkerajaan dan kekuatan asing yang masuk ke Laut Banda. Berbeda dari pendekatan kekerasan yang diterapkan di wilayah lain, hubungan VOC dengan Buton dimulai dengan jalur diplomasi. Tidak ada perang. Kolonial datang sebagai kongsi yang menawarkan perkawanan. B...

Catatan dari Banti To Akoro Situs Dua

Hujan di bulan Juni bukan sekadar puisi. Hujan itu hadir secara literal di langit Nganganaumala. Hari kedua perhelatan Banti to akoro.  kampung Loji Sejak pagi, Dua Puluh Lima (25) Peserta sudah selesai registrasi. Hujan belum jua reda, sementara walking tour harus segera dimulai.  Para peserta Banti toakoro situs dua memulai penjelajahannya Dari kantor Kelurahan Nganganaumala. Mereka mengenakan jas hujan lalu berjalan menjajal lorong-lorong sempit di kampung Loji. Lorong sempit Loji III menyambut kami. Ada aroma yang menguar di mulut gang. Karakter baunya seperti halaman pertama dari buku tua yang berdebu. Penampakan yang lain adalah dinding rumah-rumah panggung tua yang menyimpan ingatan pemiliknya. Di sinilah perjalanan dimulai. tepat di depan salah satu rumah warga yang pada depannya terkapar dua buah meriam peninggalan VOC. Pemandu kami, Pak LM Yurid warga asli Loji, berdiri tenang memegang payung di hadapan para peserta. Ia memulai cerita dengan sebutir kata:  ...