Hujan di bulan Juni bukan sekadar puisi. Hujan itu hadir secara literal di langit Nganganaumala. Hari kedua perhelatan Banti to akoro. kampung Loji Sejak pagi, Dua Puluh Lima (25) Peserta sudah selesai registrasi. Hujan belum jua reda, sementara walking tour harus segera dimulai. Para peserta Banti toakoro situs dua memulai penjelajahannya Dari kantor Kelurahan Nganganaumala. Mereka mengenakan jas hujan lalu berjalan menjajal lorong-lorong sempit di kampung Loji. Lorong sempit Loji III menyambut kami. Ada aroma yang menguar di mulut gang. Karakter baunya seperti halaman pertama dari buku tua yang berdebu. Penampakan yang lain adalah dinding rumah-rumah panggung tua yang menyimpan ingatan pemiliknya. Di sinilah perjalanan dimulai. tepat di depan salah satu rumah warga yang pada depannya terkapar dua buah meriam peninggalan VOC. Pemandu kami, Pak LM Yurid warga asli Loji, berdiri tenang memegang payung di hadapan para peserta. Ia memulai cerita dengan sebutir kata: ...
Malam itu saya memilih berdiri di antara barisan warga. Menyisip di antara ibu-ibu bersarung dan anak-anak yang duduk bersila di atas meriam. Mendung masih menggantung di langit keraton. Di Sebelah utara tampak beberapa warga telah memenuhi galampa. Keraton mulai ramai. Tapi bukan oleh hiruk-pikuk pejabat dengan kamera dan protokol. Tidak ada kursi VIP. Yang ada hanyalah warga. Dengan tubuhnya. Dengan ingatannya. Dengan matanya yang jernih menatap ke tengah panggung yang tanpa panggung. Di sinilah sejarah malam itu dibuka kembali, bukan oleh seremoni, tapi oleh tubuh-tubuh yang menyimpan luka dan nyanyian. Banti to Akoro, Sebuah pertunjukkan yang mengundang siapapun sebagai penyaksi, bukan penonton. Teater Tanpa Titik Pusat Sekali lagi, pertunjukan Banti to Akoro tidak menawarkan satu titik pusat. Penonton bergerak mengikuti arah suara, tubuh, dan Cahaya. Seolah teater ini bukan pertunjukan, melainkan ritual yang mewajibkan tubuh untuk terlibat. Banti to Akoro situs satu mengam...