Langsung ke konten utama

Postingan

Lampu di Pohon, Luka di Tubuh Kota

Seratus hari kerja adalah waktu yang cukup untuk menunjukkan arah kepemimpinan. Di Baubau, pasangan H. Yusran Fahim dan Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu berhasil mencatat capaian pembangunan yang tidak sedikit. Sebagai warga kota Baubau saya merasa inisiatif ini adalah pertanda baik untuk publik. Perubahan-perubahan itu mulai dari pasar murah, peningkatan UMKM, hingga revitalisasi ruang publik. Selain pembenahan fisik, salahsatu komitmen unggulan dari H. Yusran Fahim dan Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu adalah gerakan Hijau Baubau berkelanjutan. Namun, dibalik gempita keberhasilan itu ada yang mengganjal— Gerakan Hijau Baubau Berkelanjutan yang seharusnya ideal, justru bekerja secara cacat dilapangan. Faktanya, pohon-pohon yang seharusnya menjadi penyangga hidup warga kota Baubau, justru dijadikan etalase. Pohon-pohon diberi lampu, batang hingga rantingnya dililit kabel, tubuh pohon dipaku lalu dialiri listrik, belum lagi dampaknya bagi manusia yang melintas dan hewan yang hidup diatasnya. Kota...
Postingan terbaru

Kisah dari Kaboneboneana

Sekumpulan bocah berlari kegirangan di atas pasir. Ada yang membuat bola pasir lalu mengadunya sampai salah satu bola   pecah. Sementara itu para remaja asik   menggiring bola, mengoper, dan berusaha mencetak gol di gawang yang hanya ditandai dengan tumpukan pasir dan sandal. Tim yang ketinggalan skor akan membuka bajunya. Dan pertandingan baru berakhir setelah kedua tim sama-sama kelelahan. Di tempat lain ada sekelompok ibu-ibu dan anak gadisnya yang mencari kerang, kepiting dan ikan untuk lauk makan malam. Di pesisir, ada nelayan yang menambal perahunya untuk digunakan kembali keesokan harinya.   Matahari mulai kembali ke peraduannya. Seluruh kegiatan itu akan berhenti ketika air naik atau azan magrib berkumandang. Mana yang lebih dulu hadir, itu tak penting. Air akan pasang dan menutupi pasir dan batuan karang. Masing-masing dari mereka akan bergegas menuju daratan.   Para ibu akan pulang untuk memasak ikan, kerang atau kepiting hasil buruan yang akan disantap...

Catatan dari Banti To Akoro Situs Dua

Hujan di bulan Juni bukan sekadar puisi. Hujan itu hadir secara literal di langit Nganganaumala. Hari kedua perhelatan Banti to akoro.  kampung Loji Sejak pagi, Dua Puluh Lima (25) Peserta sudah selesai registrasi. Hujan belum jua reda, sementara walking tour harus segera dimulai.  Para peserta Banti toakoro situs dua memulai penjelajahannya Dari kantor Kelurahan Nganganaumala. Mereka mengenakan jas hujan lalu berjalan menjajal lorong-lorong sempit di kampung Loji. Lorong sempit Loji III menyambut kami. Ada aroma yang menguar di mulut gang. Karakter baunya seperti halaman pertama dari buku tua yang berdebu. Penampakan yang lain adalah dinding rumah-rumah panggung tua yang menyimpan ingatan pemiliknya. Di sinilah perjalanan dimulai. tepat di depan salah satu rumah warga yang pada depannya terkapar dua buah meriam peninggalan VOC. Pemandu kami, Pak LM Yurid warga asli Loji, berdiri tenang memegang payung di hadapan para peserta. Ia memulai cerita dengan sebutir kata:  ...

Catatan dari Banti toakoro Situs satu

Malam itu saya memilih berdiri di antara barisan warga. Menyisip di antara ibu-ibu bersarung dan anak-anak yang duduk bersila di atas meriam. Mendung masih menggantung di langit keraton. Di Sebelah utara tampak beberapa warga telah memenuhi galampa. Keraton mulai ramai. Tapi bukan oleh hiruk-pikuk pejabat dengan kamera dan protokol. Tidak ada kursi VIP. Yang ada hanyalah warga. Dengan tubuhnya. Dengan ingatannya. Dengan matanya yang jernih menatap ke tengah panggung yang tanpa panggung. Di sinilah sejarah malam itu dibuka kembali, bukan oleh seremoni, tapi oleh tubuh-tubuh yang menyimpan luka dan nyanyian. Banti to Akoro, Sebuah pertunjukkan yang mengundang siapapun sebagai penyaksi, bukan penonton. Teater Tanpa Titik Pusat Sekali lagi, pertunjukan Banti to Akoro tidak menawarkan satu titik pusat. Penonton bergerak mengikuti arah suara, tubuh, dan Cahaya. Seolah teater ini bukan pertunjukan, melainkan ritual yang mewajibkan tubuh untuk terlibat. Banti to Akoro situs satu mengam...

Banti To akoro; Undangan Teater yang merebut ruang publik

Segera hadir di Baubau. Pertunjukan tanpa lampu sorot, tanpa tirai tebal dan tanpa panggung yang tinggi. Banti to Akoro , sebuah karya dari Teater Sora . Sebuah pertunjukkan dengan pendekatan site-specific performance , atau pertunjukkan berbasis pemukiman warga. Pertunjukkan ini akan dihelat selama empat hari. Dimulai dari tanggal 13 hingga 15 Juni 2025. Lokasinya berada di Benteng keraton, Loji, Tarafu, Lipu, Topa dan akan Kembali menuju ke ngangana umala   Banti to Akoro menyajikan narasi yang lahir dari realitas keseharian Warga dari pinggiran Baubau: tentang perebutan ruang hidup tak kasat mata, tentang rumah yang reyot, tentang bau amis laut, dan ingatan-ingatan warga yang mengaharubiru. Aktor-aktornya bukan hanya yang terlatih, melainkan juga warga sekitar yang terlibat secara langsung dalam pementasan. Melalui Banti to Akoro , teater sora akan membumikan apa yang ada dilangit. Banti to akoro adalah tema yang dipilih untuk mempertegas kesenian bukanlah sekadar milik b...

Tambur VOC untuk La Elangi; Kolonialisme yang datang melalui bunyi

Di sebuah sore yang sepi pada bulan januari tahun 1641, Seorang utusan dari Banda berkunjung di Buton. Ia membawa kabar perihal Banda, selebes dan VOC. Kabar itu mengisahkan tentang aliansi baru yang dibentuk oleh VOC seminggu yang lalu. Poros itu  dalam rangka persahabatan dan upaya ekonomi. Utusan itu lalu berkisah lagi soal pemberian hadiah dari VOC dalam banyak rupa. La Elangi tak bergeming. Ia lalu berjalan menuju jendela, Pandangannya terlempar ke arah laut. Sesuatu bernama gelisah sedang menggantung di wajahnya. Pada paruh abad ke 17, Buton adalah kerajaan maritim. Kekuasaanya bertaut dengan   jaringan dagang nusantara dan peradaban islam. Di bawah La Elangi Sultan ke empat, Buton menjalin perimbangan kuasa antarkerajaan dan kekuatan asing yang masuk ke Laut Banda. Berbeda dari pendekatan kekerasan yang diterapkan di wilayah lain, hubungan VOC dengan Buton dimulai dengan jalur diplomasi. Tidak ada perang. Kolonial datang sebagai kongsi yang menawarkan perkawanan. B...